Halo Dewitee’s! Gimana puasanya di hari ke-12 ini? Udah ada yang bolong belum?😆 Nah sambil nunggu waktu berbuka, yuk simak informasi dari mimin tentang Masjid Bersejarah di Yogyakarta
1. Masjid Gedhe Kauman
Masjid Gedhe Kauman didirikan pada 29 Mei 1773 atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat selaku penghulu keraton, adapun bangunannya dirancang oleh Kiai Wiryokusumo. Masjid ini terletak di sisi barat Alun-Alun Utara dan barat daya Pasar Beringharjo yang pendiriannya ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi Gapura Trus Winayang Jalma, sengkalan tersebut tertulis pada prasasti di serambi masjid.
Arsitektur Masjid Gedhe Kauman memiliki karakteristik empat pilar yang disebut saka guru dengan bentuk atap tiga susun yang melambangkan tahapan dalam menekuni ilmu tasawuf yaitu syari’at,thareqat, ma’rifat. Tiga tingkatan tersebut juga melambangkan iman, islam, dan ikhsan. Karakteristik lainnya yaitu masjid ini memiliki 48 pilar di bagian dalam masjid dan atapnya yang berbentuk 16 sisi. Di dalam Masjid Gedhe terdapat ruangan khusus bagi raja ketika hadir di masjid, berada di baris (shaf) terdepan, dikenal dengan nama maksura.
Sebagai ciri bahwa masjid ini milik Sultan, maka di puncak atap dipasang hiasan mahkota berbentuk bunga. Hiasan pada puncak atap semacam ini disebut sebagai mustaka. Mustaka pada puncak-puncak masjid milik Sultan merupakan stilirisasi dari bentuk gada, daun kluwih, dan bunga gambir. Gada melambangkan keesaan Allah. Daun kluwih mengarah pada kata ‘linuwih’ atau lebih, yaitu manusia akan memiliki kelebihan jika telah melewati tiga tahapan ilmu tasawuf. Sedang bunga gambir melambangkan arum angambar atau keharuman yang menebar.
2. Masjid Pathok Negara
Secara harfiah, pathok berarti sesuatu yang ditancapkan sebagai batas atau penanda, dapat juga berarti aturan, pedoman ,atau dasar hukum. Sementara negara berarti negara, kerajaan, atau pemerintahan. Sehingga pathok negara bisa diartikan juga sebagai batas wilayah negara atau pedoman bagi pemerintahan negara. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I, kesultanan Yogyakarta membangun masjid di empat penjuru mata angin, keempat masjid itulah yang hingga saat ini dikenal sebagai Masjid Pathok Negara. Empat masjid tersebut meliputi Masjid Jami’ An-nur di Mlangi (Barat), Masjid Jami’ Sulthoni di Plosokuning (Utara), Masjid Jami’ Ad-Darojat di Babadan (Timur), dan Masjid Nurul Huda di Dongkelan (Selatan).
Masjid Jami’ An-Nur di Mlangi didirikan dan dikelola oleh BPH. Sandiyo, atau lebih dikenal sebagai Kyai Nur Iman pada tahun 1758. Pada awal berdirinya, masjid ini memiliki 16 tiang utama dari kayu jati. Terdiri dari 4 saka guru dan 12 saka penanggep. Namun seiring kebutuhan masyarakat sekitar, bangunan ini mengalami perubahan besar-besaran pada tahun 1985. Masjid dibuat bertingkat dengan pilar-pilar beton, hanya bentuk asli masjid ini yang dipertahankan dengan cara diangkat ke lantai atas. Salah satu bagian masjid yang tidak berubah adalah mustaka, atau mahkota masjid.
Masjid Plosokuning didirikan oleh Kyai Mursodo, anak dari Kyai Nur Iman Mlangi. Arsitektur bangunan Masjid Plosokuning mengalami perubahan, mengikuti bentuk dari Masjid Gedhe. Hal ini terlihat dari model atap tumpang dan mustaka di atasnya. Hanya saja Masjid Plosokuning ini hanya terdapat dua tumpang sama seperti pada Masjid Pathok Negara lainnya. Meskipun demikian, Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning termasuk yang terjaga keasliannya jika dibandingkan dengan ketiga Masjid Pathok Negara lainnya. Salah satu ciri yang paling menonjol adalah keberadaan kolam yang mengelilingi masjid. Di kolam ini orang-orang membasuh kaki dan membersihkan diri sebelum memasuki masjid. Desain masjid dengan kolam tersebut adalah penyesuaian terhadap budaya masyarakat saat itu yang melakukan kegiatan sehari-hari tanpa mengenakan alas kaki.
Masjid Jami’ Ad-Darojat terletak di Babadan, Bantul. Dibangun pada Tahun 1774 , masjid ini juga mengikuti arsitektur bangunan Masjid Pathok Negara yang lain. Bangunan ruang utamanya menggunakan konstruksi tajug dengan empat saka guru. Di sampingnya terdapat pawestren, ruang yang diperuntukkan khusus bagi jamaah wanita. Serambi masjid berbentuk limasan serta dilengkapi juga dengan kolam sebagai tempat bersuci. Pada tahun 1943 terjadi peristiwa penggusuran oleh pemerintahan Jepang. Daerah Babadan masuk dalam wilayah perluasan pangkalan udara. Penduduk sekitar masjid berbondong-bondong menuju ke daerah Kentungan, yang disebut juga sebagai Babadan Baru. Bersamaan dengan hal ini, seluruh bangunan masjid turut dibawa serta. Baru pada tahun 1960 dibangun masjid kembali di lokasi lama, dan pada tahun ini pula nama Masjid Ad-Darojat digunakan. Mustaka tanah liat yang menjadi ciri khas Masjid Pathok Negara juga terdapat di sini. Meskipun pada tahun 2003 diganti dengan mustaka kuningan, mustaka asli masih disimpan dan dipelihara.
Masjid Nurul Huda terletak di wilayah Kauman, Dongkelan. Tepatnya di Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid ini didirikan pada tahun 1775 dengan Kyai Syihabudin sebagai penghulunya. Bangunan awal masjid ini beratapkan ijuk dengan ciri utama sebagai Masjid Pathok Negara terletak di mustaka tanah liatnya. Mustaka tersebut kini tidak lagi berada di atap masjid, namun disimpan dalam kotak kaca. Mustaka ini pula yang tersisa dari bangunan ini ketika ludes dibakar Belanda.
3. Masjid Agung Puro Pakualam
Masjid Agung Puro Pakualaman dibangun pada masa pemerintahan Sri Paku Alam II, tepatnya pada tahun 1850 M. Pendirian masjid ini ditandai dengan adanya empat prasasti pada dinding serambi masjid. Sebanyak 2 prasasti dituliskan dalam huruf Arab dan 2 prasasti menggunakan bahasa Jawa. Masjid ini terdiri atas tiga bagian yaitu bagian utama (untuk salat), serambi, dan teras.
Di dalam ruang salat terdapat Ma’surah yaitu tempat salat raja yang terletak di saf paling depan di sebelah selatan tempat imam. Ma’surah tersebut terbuat dari bahan kayu dengan ragam hias ceplok bunga dan stilisasi huruf Arab atau sering disebut mirong, serta di bagian dalam lantainya lebih tinggi daripada lantai bangunan induk. Bagian atap masjid atau mustaka masih berbentuk mahkota. Dahulu saat pembuatan masjid di depan dan kedua sampingnya digenangi blumbangan air yang melimpah. Namun saat ini blumbangan itu sudah tidak ada dan diganti dengan teras di depan, sedangkan di sisi selatan dibangun tempat wudu dan di sebelah utara dibangun rumah untuk pengurus masjid.
4. Masjid Gedhe Mataram
Masjid Gedhe Mataram diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Panembahan Senopati antara tahun 1575 – 1601 Masehi. Kompleks Masjid Gedhe Mataram terletak di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kompleks masjid ini terdiri dari beberapa bangunan selain masjid itu sendiri. Bangunan tersebut diantaranya, tempat wudhu, makam, tugu peringatan, gapura, dan bangunan kelir. Ruang utama masjid ditopang oleh empat soko guru yang terbuat dari kayu jati. Tiang soko guru berdiameter 60 cm dengan tinggi 16 meter. Selain itu, terdapat 12 sokoguru penampang dan 20 sokoguru peniting yang masing-masing dihubungkan dengan tiang sungkup.
5. Masjid Syuhada
Masjid Syuhada merupakan pemberian Presiden Soekarno kepada para pejuang saat bertempur di Yogyakarta yang dibangun pada 20 September 1952. Maka tidak heran jika nama masjid ini diambil dari istilah Islam yaitu Syuhada yang berarti pahlawan yang gugur dengan syahid. Bangunan Masjid Syuhada memiliki 17 buah anak tangga, gapura dengan bentuk angka delapan, lalu kubah pertama berjumlah 4 serta kubah atas berjumlah lima. Dan, uniknya jika seluruh jumlah tersebut di gabungkan, maka akan menunjukan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, masjid ini memiliki simbol religius yang khas.Terdapat 20 ventilasi di ruang bawah yang menandakan 20 sifat Allah SWT, 6 jendela di tempat salat pria sebagai simbol rukun iman, 5 ventilasi di tempat khusus imam sebagai simbol rukun islam dan 2 tiang penyangga di musala putri sebagai simbol syahadat.
Leave a Reply